Bisa berlangganan dengan RSS

Masukkan Email

Senin, 20 Maret 2017

Gejolak Cinta Wisanggeni 2

jujum


Malam ini begitu dingin, rasa itu menguliti tubuh Wisanggeni yang telah 3 hari berpuasa, sehingga bertambah dingin dan menggigil. Hawa panas dari dalam tubuhnya tak mampu melawan dinginya malam yang disertai angin, serasa terbaluti oleh es, menggigil.
Dia memandangi telunjuknya, ada bendi kecil sekali, benda ini mirip seperti handpon, tapi bukan handpon, benda ini juga berfungsi untuk komunikasi, sebagaimana telepon, sebagaimana enternet, dan sebagaimana hanpon, namun kecil sekali, sehingga hanya ada di telunjuk jari, dan sebesar ruas jari Wisanggeni. Benda ini seperti nempel di telunjuknya, masuk dalam pori-porinya.

Setelah di pandangi, keluarlah suara beep seperti suara handphon berdering, lama sekali deringnya, namun ga ada suara lainnya, mungkin di sebrang sana, tempat tujuan telpon Wisanggeni sedang sibuk. Dicobanya beberapa kali memandangi jari telunjuk tersebut, namun juga tidak ada respon dari sebrang. Wasanggeni kemudian bangun dari tidurnya dan menyentuh sebuah dinding kamarnya, dia mengucapkan sesuatu.

“Mustikawati.”

Tak lama kemudian munculah layar di dinding tersebut, sebesar tv led ukuran 32 inch, sangat besar dan jelan. Terpampang dengan jelas gambar layar di dinding tersebut, yaitu gambar Mustikawa yang sedang berbaring lunglai di peraduannya, terlihat tidur pulas, pucat, lesu dan tak bergairah. Wisanggeni kemudian mematikan layar di dindingnya, dan kembali berbaring. Wajahnya menatap awan-awan yang ada di kamarnya yang ukurannya memang sangat luas sekali.

“Sakit ini membelengguku, namun harus aku lalui, meskipun nyawa tahuranya.” Kata Wisanggeni. Iya dia juga baru sakit yang tak kunjung reda. Di Saat itu memang dunia sedang gempar di ancam sebuah penyakit baru yang belum bisa di deteksi oleh para ahli baik dari kahyangan maupun dari bumi.

Waktu berlalu, Wisanggeni hanyut dalam ilusi bercengkrama dengan pujaan hatinya si Setyawati. Malam menyimpan sejuta impian dan harapan. Menunggu pagi menjelang, menyambut Sang Surya menampakkan wajahnya. Namun sayangnya Matahari tak mau menampakkan diri, mungkin juga Dewa Surya juga lagi sakit, terkena wabah tersebut.

Sementara di Bumi, sangat terasa sekali, pagi itu seperti tak ada aktifitas, tak ada tanda-tanda kehidupan, di mana-mana sunyi. Hanya desiran angina meniup sekujur kota menembus sela-sela bangunan yang belum bisa saya gambarkan, karena memang sangat berbeda sekali dengan apa yang ada sekarang. Situasinya seperti berada di luar angkasa, bangunanya seperti bangunan milik makluk alien yang di gambarkan dalam film-film. Namun ini lebih indah lebih membaur dengan semesta, ada beberapa jembatan membentang yang menghubungkan antar satu bumi dengan bumi lainnya, bisa di bilang dekat namun jauh, jauh namun dekat. Aneka alat transportasi juga sangat-sangat berbeda, sma sekali berbeda dengan apa yang kita kenal sepanjang sejarah peradaban selama ini.

Kita tinggalkan kesunyian, di salah satu perbukitan yang tinggi, nampak sebuah bentuk menyerupai orang gemuk yang berbadan besar, perut besar, punya payudara seperti wanita, bibirnya selalu tersimpul senyum seakan menyapa seluruh alam, dialah Badranaya, yang sering di kenal dengan sebutan Semar. Saat itu sedang melakukan tapabrata, mencari jawaban apa sebenarnya yang terjadi di Bumi dan planet lainnya.  yang menguasai Bumi, berusaha mencari sumber penyakit yang sedang meradang. Ada berbagai cahaya seperti pelangi mengelilingi tubuh Badranaya, bibirnya tetap tersenyum, teduh dan membahagiakan bagi siapa saja yang melihatnya. Tiba-tiba cahaya itu pudar, dan Badranaya membuka matanya.

“Wisanggeni. Hem, kenapa Wisanggeni jatuh cinta bisa menyebabkan semua ini? Unsur api yang mencintai unsur tanah basah, membuat peradangan yang luar biasa di Bumi dan planet lain. Akankah menjadikan sebuah unsur baru? Padahal di kerak bumi sudah dikuasai oleh magma hasil gesekan unsur air dan unsur tanah.”

Seraya mendapatkan sebuah jawaban, Badranaya kemudian memandang telunjuknya sebagaimana yang dilakukan oleh Wisanggeni. Suara beep keluar dan selang berapa waktu kemudian terkonek.

“Wa Semar ada apakah? Pagi buta menghubungi saya.”

“Eh he he hehe, maafkan Wa bila mengganggu Nang.”

“Tidak sama sekali Wa, Cuma aku sedang sakit kali ini.”

“Eh hehehehe, sakit rindu, sakit cinta, hahahaha, anak jaman sekarang memang mudah sekali jatuh cinta.”
“Darimana Wa Semar tahu, kalau saya sedang jatuh cinta?”

“He he he he, dari situasi yang baru kita alami ini ngger Wisanggeni.”

“Maksudnya?”

“Iya sekarang ini, wabah ada di bumi dan di planet lain, karena kekuatan unsur apimu sedang merajuk ingin bersatu dengan unsur tanah basah yang dimiliki oleh Setyawati, hahahahaha, menikahlah Wisanggeni, dan semua akan beres.”

“Tapi belum mendapat restu dari Rama Arjuna.”

“Nanti saya yang akan menyampaikan, hehehehe, biarkan semua kembali seperti semula, atau memilih ada kematian di tiap penjuru bumi dan planet lainnya.”

Badranaya kemudian menggenggamkan tangganya, dan bunyi tiiiit panjang terdengar. Komunikasi itu dihentikannya, sambil tertawa riang karena dapat jawaban dari Semesta.

BERSAMBUNG 

GEJOLAK CINTA WISANGGENI 1





jujum / Author & Editor

Menulis membuat saya lebih dekat dengan dongeng-dongeng, cerita-cerita, panggung-panggung wayang itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2017, Designed By Djoem Art